![]() |
Poto : Rusdianto Sudirman, S.H, M.H, C.Me |
Koltim, Sultra cerdas com - Beberapa tahun terakhir, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, menjadi sorotan publik bukan karena prestasi pembangunan atau inovasi kebijakan, melainkan karena skandal demi skandal korupsi yang menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan daerah.
Sebagai akademisi hukum tata negara sekaligus bagian dari masyarakat Kolaka Timur melalui ikatan keluarga, saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan kegelisahan publik atas kondisi ini.
Akar persoalan di Kolaka Timur bukan sekadar maladministrasi atau pelanggaran individu, melainkan cerminan rusaknya tata kelola pemerintahan daerah yang ditandai oleh lemahnya pengawasan, politisasi birokrasi, dan praktik transaksional dalam proses politik lokal.
Masih segar dalam ingatan OTT KPK Terhadap Bupati Koltim sebelumnya, kini Kasus dugaan suap dalam proses pemilihan Bupati Kolaka Timur melalui mekanisme DPRD pasca-pemberhentian kepala daerah definitif, menjadi titik awal terguncangnya integritas politik lokal.
Dugaan ini bukan hanya mencoreng proses demokrasi, tetapi menunjukkan bagaimana jabatan publik diperjualbelikan, bukan sebagai mandat rakyat, melainkan sebagai investasi kekuasaan.
Skandal ini seakan membuka kotak pandora. Satu per satu, kasus korupsi di berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mencuat ke permukaan. Di Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, hingga Dinas Pekerjaan Umum, aparat penegak hukum menemukan jejak penyalahgunaan anggaran yang sistematis. Bahkan, dalam beberapa kasus, modus operandinya seragam: mark-up anggaran, proyek fiktif, hingga pemotongan insentif pegawai.
Secara normatif, otonomi daerah dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan mempercepat pembangunan. Namun, di Kolaka Timur, otonomi kerap dimaknai sebagai kemandirian untuk menyimpang. Ini mencerminkan kegagalan dalam membangun sistem checks and balances yang sehat antara eksekutif, legislatif, dan aparatur pengawasan internal.
Salah satu titik lemah adalah pengawasan DPRD yang tampak permisif terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan kepala daerah dan OPD. Tidak terlihat upaya serius dalam menjalankan fungsi pengawasan anggaran maupun pelaksanaan program kerja. Bahkan dalam beberapa kasus, legislatif justru diduga menjadi bagian dari pusaran transaksi kekuasaan yang sama.
Sementara itu, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) seperti Inspektorat Daerah, tidak menunjukkan independensi dan ketegasan dalam mengungkap penyimpangan. Ketika fungsi pengawasan internal gagal, aparat penegak hukum menjadi harapan terakhir. Namun, sayangnya, penegakan hukum di daerah juga tak luput dari pengaruh politik lokal.
Maraknya kasus korupsi di Kolaka Timur telah melahirkan krisis legitimasi pemerintahan daerah. Kepercayaan publik melemah, dan partisipasi warga dalam urusan pemerintahan makin rendah.
Dalam perspektif hukum tata negara, legitimasi bukan hanya bersumber dari proses pemilihan yang sah, tetapi juga dari kapasitas dan integritas dalam menjalankan mandat konstitusional.
Legitimasi akan runtuh ketika penguasa lokal menjadikan anggaran sebagai sumber rente, bukan instrumen kesejahteraan. Ketika birokrasi menjadi alat politik balas budi, bukan mesin pelayanan publik. Dan ketika hukum tidak lagi menjadi panglima, tetapi hanya alat perlindungan bagi mereka yang berkuasa.
Menurut saya, Koltim membutuhkan reformasi tata pemerintahan secara menyeluruh. Pertama, perlu penguatan sistem rekrutmen kepala daerah dan pejabat birokrasi yang berbasis pada integritas, bukan loyalitas. Pilkada harus disterilkan dari praktik politik uang. Ini memerlukan kerja sama serius antara KPU, Bawaslu, dan aparat penegak hukum untuk menindak segala bentuk transaksionalitas dalam pemilu lokal.
Kedua, peran lembaga pengawasan seperti DPRD, Inspektorat, dan BPK harus ditingkatkan, baik dalam kapasitas kelembagaan maupun integritas individu. Mekanisme evaluasi dan transparansi anggaran harus dipublikasikan secara berkala, dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil.
Ketiga, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan berkeadilan, tanpa pandang bulu. KPK dan Kejaksaan Tinggi harus berani mengambil alih kasus-kasus besar di Kolaka Timur, untuk menghindari intervensi politik lokal.
Terakhir, masyarakat Kolaka Timur sendiri harus menjadi kekuatan pengontrol yang aktif. Budaya diam dan permisif terhadap korupsi harus dihentikan. Media lokal, organisasi masyarakat sipil, tokoh adat dan agama, harus membentuk barisan kolektif dalam menagih tanggung jawab pemerintah daerah.
Kisah Kolaka Timur bukan hanya tentang korupsi, tetapi tentang bagaimana sebuah daerah bisa kehilangan arah ketika sistem pemerintahan dikooptasi oleh kepentingan sesaat. Momentum krisis ini harus dijadikan titik balik untuk memperbaiki tata kelola, menegakkan hukum, dan memulihkan kepercayaan rakyat.
Korupsi adalah pengkhianatan terhadap mandat rakyat. Jika tidak segera ditangani secara struktural dan serius, Kolaka Timur tidak hanya akan tertinggal secara pembangunan, tetapi juga kehilangan masa depan.
Penulis : Rusdianto Sudirman, S.H, M.H, C.Me Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare