
Kolaka, Sultra cerdas com - Adat bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan urat nadi yang menyalurkan ruh kebersamaan suatu bangsa. Dalam adat, tersimpan kearifan, kesabaran, dan penghormatan terhadap leluhur yang telah mewariskan legacy nilai persatuan di atas tanah kelahiran. Karena itu, ketika adat mulai terbelah, sejatinya yang retak bukan hanya struktur adat itu sendiri, melainkan hati masyarakat yang menjunjungnya. Dalam hembusan waktu yang terus bergulir, masyarakat Mekongga dihadapkan pada kenyataan yang mengusik nurani.
Pasca mangkatnya Bokeo ( Raja Mekongga ) ke-XIX Alm. PYM. Drs. H. Khaerun Dahlan, MM. Dalam sepekan terakhir, masyarakat Kabupaten Kolaka dikejutkan dengan munculnya 1 kegiatan prosesi Pelantikan Bokeo yang baru, dan 2 kegiatan pelaksanaan Musyawarah Adat Mekongga yang diselenggarakan oleh 3 kelompok berbeda. Masing-masing pihak mengklaim memiliki legitimasi untuk menentukan dan menunjuk Raja (Bokeo) Mekongga ke-XX.
Adapun ketiga kegiatan tersebut digelar secara terpisah di tiga lokasi berbeda, yakni di Pelataran Kompleks Makam Raja Sangia Nibandera, Aula Hotel Sutan Raja Kolaka, serta Rumah Adat Mekongga Kolaka. Fenomena ini tidak hanya menggambarkan perbedaan pandangan internal, tetapi juga memperlihatkan munculnya polarisasi yang semakin terbuka di tengah masyarakat adat Mekongga.
Kondisi ini memantik perhatian publik, khususnya masyarakat Kolaka yang selama ini memandang dan meyakini penentuan Bokeo sebagai suatu proses yang sangat sakral, sarat nilai persatuan, dan menjadi simbol kedaulatan adat Mekongga.
Dalam sejarah perjalanan Kerajaan Mekongga, penentuan seorang Bokeo tidak pernah menjadi ajang perpecahan. Sebaliknya, musyawarah adat selalu berjalan dalam semangat “Medulu Mepokoaso”, suatu nilai luhur persatuan, keikhlasan, dan kebersamaan dalam satu bingkai kearifan lokal.
Pada pemilihan Bokeo sebelumnya, proses musyawarah berjalan senantiasa berjalan lancar dan penuh kekeluargaan, melibatkan unsur pemangku adat,dan tokoh Mekongga dalam satu forum musyawarah yang sah. Tidak pernah ada penyelenggaraan musyawarah ganda, apalagi sampai tiga kelompok berbeda mengklaim memiliki legitimasi yang sama. Kini, dinamika yang terjadi seakan menjadi cermin terjadinya gesekan kepentingan dibalut ambisi dan egoisme yang tak kunjung padam, yang justru menodai nilai sakral Musyawarah Adat Mekongga.
Spirit Musyawarah Adat Mekongga bukan sekadar forum diskusi, tetapi perjalanan batin menuju kesepakatan kolektif yang lahir dari hati yang bersatu. Tiga kegiatan adat dalam waktu yang hampir bersamaan mencerminkan adanya jarak yang semakin melebar antara para pemangku adat. Kini, harapan masyarakat sederhana namun mendalam, mengajak seluruh Masyarakat Adat Mekongga untuk kembali merangkul satu sama lain dalam bingkai “ Kalosara” dengan senantiasa menjunjung tinggi pesan leluhur, “Inae Konasara Iee Pinesara, Inae Lia Sara Iee Pinekasara”.
Kalosara menjadi lambang keutuhan moral, sebagai pedoman, pandangan hidup, dan sumber hukum tertinggi orang Tolaki Mekongga, di mana segala perselisihan dapat diakhiri melalui kesepakatan, bukan pertikaian. Ia bukan sekadar warisan benda pusaka, tetapi representasi filosofi luhur yang mengajarkan bahwa setiap perbedaan harus disatukan dalam lingkaran nilai, bukan dipisahkan oleh ambisi.
Sayangnya, dalam dinamika musyawarah yang terjadi pekan ini, makna Kalosara seolah terpinggirkan. Nilai-nilai perdamaian yang terkandung di dalamnya tidak lagi menjadi pedoman utama dalam menata kembali marwah adat Mekongga. Padahal, jika semua pihak kembali memusatkan hati dan pikiran dengan memegang teguh pesan moral “ Ate Pute Penao Moroha”, maka musyawarah apa pun akan menemukan jalan terbaiknya,jalan persaudaraan dan kehormatan adat.
Masyarakat Kolaka dan masyarakat Adat Mekongga khususnya, sangat menyayangkan kondisi yang terjadi. Sebab, euforia pelaksanaan musyawarah yang seharusnya melahirkan seorang Bokeo ( Raja ) baru di Wonua Sorume Mekongga, justru menimbulkan kegelisahan dan kebingungan di tengah masyarakat. Fenomena ini menjadi tamparan keras terhadap marwah adat Mekongga yang selama ini dijunjung tinggi.
Jika musyawarah adat kehilangan nilai “Mepokoaso”, maka kehadiran 3 Bokeo sekaligus, dikhawatirkan menjadi embrio perpecahan sesama Ana Wonua dan membuat kehilangan legitimasi moral di hati rakyatnya. Dalam kondisi seperti ini, Pemerintah Kabupaten Kolaka wajib hadir menjadi mediator yang bijaksana.
Meski Bokeo merupakan pemimpin adat, keberadaan pemerintah daerah tetap memiliki tanggung jawab moral dan sosial dalam menjaga stabilitas, harmoni, dan persatuan masyarakat Kolaka. Kehadiran pemerintah menjadi penting agar menemukan titik temu dan menghasilkan satu figur Bokeo yang diterima secara kolektif dan legowo oleh seluruh pihak, demi harkat, martabat dan kehormatan Kerajaan Mekongga yang kita muliakan dan cintai bersama.
Salam Mepokoaso,
Salam Aso Beli,
Sangga-Sanggai Olutumu, Pekiki Ine Samba
Oleh: Suharman Samudra, S.H ( Pemerhati Adat Mekongga )