Notification

×

Iklan

Pasang Iklan Halaman Atas

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kolaka Timur: Dua Bupati , Satu Pola Korupsi

YUK ! BACA INFORMASI DARI SULTRACERDAS.COM SEMOGA BERMANFAAT UNTUK ANDA BY MARJUNUS
Sabtu, 09 Agustus 2025 | Agustus 09, 2025 WIB Last Updated 2025-08-09T09:44:38Z


Koltim, Sultra cerdas com - Dalam peta korupsi daerah, Kolaka Timur kini punya reputasi buruk, dua bupatinya berturut-turut ditangkap KPK. Dalam sepuluh tahun usia daerah ini, dua orang yang duduk di kursi nomor satu justru sama-sama dijebloskan ke tahanan karena kasus suap.


Bupati Abdul Azis, yang baru saja dijaring KPK, hanyalah bab terbaru dari kisah yang dimulai saat pendahulunya, Andi Merya Nur, tertangkap pada 2021. Kedua kasusnya punya pola yang hampir serupa, suap, proyek, dan lingkaran elite birokrasi yang tunduk pada satu pusat kekuasaan.


Ini bukan sekadar tragedi moral pejabat. Ini adalah bukti bahwa sistem pemerintahan di Kolaka Timur dan banyak daerah otonom baru lainnya ibarat pabrik yang memproduksi korupsi. Mesin itu tetap bekerja, siapa pun yang jadi operatornya.


Reformasi 1998 melahirkan otonomi daerah dengan satu janji mendekatkan pelayanan publik ke rakyat. Tapi dalam banyak kasus, termasuk Kolaka Timur, otonomi justru menciptakan “raja-raja kecil” yang berkuasa nyaris tanpa kontrol efektif.


Sistem pengawasan vertikal lemah. Inspektorat daerah praktis berada di bawah kendali bupati. DPRD, yang seharusnya menjadi anjing penjaga (watchdog), sering berubah menjadi kucing jinak karena ikut menikmati bagi hasil kekuasaan.


Di DOB seperti Kolaka Timur, kondisi ini diperparah dengan lemahnya infrastruktur birokrasi dan rendahnya kapasitas aparatur. Pemekaran dilakukan terburu-buru, tanpa investasi serius pada integritas dan sistem transparansi. Akibatnya, ketika seorang kepala daerah ingin “bermain proyek”, ia seperti berjalan di jalan tol mulus, tanpa hambatan.


Hampir semua kepala daerah terpilih tahu persis berapa biaya politik yang mereka keluarkan. Mahar partai, logistik kampanye, hingga “uang rokok” untuk tim sukses bukan angka kecil. Dan begitu kursi bupati didapat, logika return on investment(balik modal) bekerja.


Di sinilah proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, serta mutasi jabatan menjadi mata uang politik. Pengusaha lokal atau dari luar daerah masuk dengan amplop dan janji proyek. Kepala daerah membalas dengan akses dan perlindungan. Semua pihak senang kecuali rakyat yang hanya mendapat serpihan dari anggaran.


Pola inilah yang kembali muncul di Kolaka Timur. Bupati baru, jaringan lama, modus lama. Bukan kebetulan, tapi konsekuensi dari politik biaya tinggi yang dibiarkan hidup di bawah otonomi daerah.


Pemekaran daerah sering dijual dengan retorika “pembangunan lebih merata”. Faktanya, banyak DOB menjadi pusat korupsi baru. Kajian KPK (2019) menunjukkan, hampir 60% DOB memiliki tingkat risiko korupsi yang lebih tinggi dibanding daerah induknya.


Kolaka Timur adalah bukti lapangan dari statistik itu. Tanpa pengawasan kuat, DOB hanya memindahkan titik korupsi dari pusat ke daerah, bahkan memperluasnya. Di pusat, korupsi butuh konsensus besar; di DOB, cukup restu satu orang yaitu bupati.


Menurut penulis, Kalau kita ingin OTT KPK di Kolaka Timur berhenti menjadi rutinitas lima tahunan, kita harus memutus aliran bahan bakar mesin korupsi ini. Inspektorat harus berdiri independen dari bupati, dengan pelaporan langsung ke KPK atau BPKP pusat. Tanpa itu, ia hanya menjadi tukang stempel kebijakan bupati.


DOB yang gagal membangun tata kelola bersih harus mendapat intervensi pemerintah pusat. Bentuknya bisa berupa supervision team yang mengawasi langsung pengelolaan APBD. Misalnya Semua proses lelang dan realisasi proyek wajib dipublikasikan secara real-time dan mudah diakses publik. Pelibatan masyarakat sipil menjadi keharusan, bukan sekedar formalitas belaka.


Selama kepala daerah masih harus membeli tiket kekuasaan, proyek akan terus jadi alat balas budi. Negara harus serius membangun sistem pendanaan politik yang legal, transparan, dan terjangkau.


KPK tak boleh hanya menunggu laporan. Perlu ada fungsi deteksi dini di daerah rawan, termasuk menempatkan perwakilan KPK untuk memantau proyek strategis. Dua bupati Kolaka Timur sudah jadi korban mesin yang sama. Jika kita tak membongkar mesinnya, akan ada bupati ketiga, keempat, dan seterusnya yang bernasib sama.


Kolaka Timur bukan anomali. Ia hanya kebetulan menjadi contoh yang mencolok. Apa yang menimpa 2 bupati Kolaka Timur hanyalah kesialan belaka, jika KPK bekerja maksimal maka kepala daerah yang lain hanya menunggu antrian OTT. 


Ada puluhan DOB lain yang tengah mengarah ke jalan yang sama, politik biaya tinggi, pengawasan lemah, dan birokrasi yang tunduk pada satu orang. OTT seharusnya menjadi peringatan, bukan rutinitas. Jika kita membiarkan sistem ini terus berjalan, KPK akan selalu punya “jadwal tetap” di Kolaka Timur dan rakyat akan terus jadi penonton yang membayar tiketnya lewat pajak.


Oleh: Rusdianto Sudirman – Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare 



×
Berita Terbaru Update